“DOKTER”
(Putu Wijaya)
Oleh : Polikarpus Roris W. (XII IPA / 22)
1. Tema :
Ketidakpercayaan
Setting
tempat : Puskesmas, di
rumah
Setting
waktu : Malam dan pagi
Alur :
Maju
Tokoh : Dokter
=> berjiwa besar
: Dukun =>
memaksa,terburu-buru
: Keluarga => suka memaksa,polos,bodoh
Pesan : Hargailah
orang lain
:
Jangan mudah terpengaruh oleh hal-hal gaib
2. Tema menurut bahasa Putu Wijaya:
Mungkin
mereka juga senang karena saya tidak mengabaikan perasaan mereka, karena saya
tidak menganggap kebenaran kata sayalah yang paling benar.
3. Latar :
Puskesmas,rumah
Suasana :
Gaduh, bingung, ricuh
Sosial
budaya
: Ekonomi masih rendah,
merupakan suku pedalaman
:
Pendidikan yang kurang / terbatas, percaya hal-hal gaib
4. Pengenalan
(Paragraph II)
“Kata dokter john
manangsang yang melintang dibelantara boven digul masyarakat pedalaman
cenderung menunda kedokter,karena konsultasi kedukun.”
Klimaks (paragraph 14)
Saya buktikan tidak ada
ular diperutnya.dia mati karena kurang gizi dan salah menenggak ramuan dukun.
Penyelesaian (paragraph
45)
Barangkali mereka
senang karena saya tidak menyalahkan dukun.puas karena saya tidak mencela
mereka terlambat membawa sang sakit ke puskesmas.
5. Tokoh utama
: Dokter
Wataknya :
Berjiwa besar,cerdas,berwibawa
Bukti
“Mungkin juga mereka
senang karena saya tidak mengabaikan perasaan mereka, karena saya tidak
menganggap kebenaran kata sayalah yang paling benar.
6. Sudut pandang : Orang ke III sebagai
pelaku utama
7. Pesan
Ø Kita
harus menghargai orang walaupun orang itu lebih rendah daripada kita
Ø Jangan
percaya pada gal-hal gaib,tetapi percaya pada Tuhan.
BIOGRAFI
Putu Wijaya adalah bungsu dari lima bersaudara seayah
maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang
dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan
punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan
punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi
dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu
pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Putu menulis sejak SMP. Tulisan pertamanya sebuah
cerita pendek berjudul "Etsa" dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali.
Pertama kali main drama ketika di SMA, memainkan drama sendiri dan
menyutradarai dengan kelompok yang didirikannya sendiri di Yogyakarta. Ikut
Bengkel Teater 1967-1969. Kemudian bergabung dengan Teater Kecil di Jakarta.
Sempat main satu kali dalam pementasan Teater Populer. Selanjutnya dengan
Teater Mandiri yang didirikan pada tahun 1971, dengan konsep "Bertolak
dari Yang Ada. [2]
Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan
kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang
dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah
mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan
ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan.
Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah
dua kali meraih piala Citra di Festival Film
Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang
Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi
sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan
adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok,
Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Balikui
Cerpen: Putu
Wijaya
Sumber: Suara Pembaruan, Edisi 11/03/2002Di hadapan sekitar tiga ratus
mahasiswa di Hunter College,New York, Wayan harus bercerita tentang Bali.
ClaudiaOrenstein, pengajar teater Asia di perguruan tinggi negeri itu,meminta
Wayan tampil sekitar satu jam. "Boleh ngapain saja.Menari, menyanyi,
menjelaskan sesuatu, membaca cerpen, yah apa sajalah, asal Bali,"
kata Claudia. Wayan jadi ngeper.Pertama bahasa Inggrisnya berantakan.Membaca ia
bolehlah, tetapi berbicara di depan orang-orang yang berbahasa Inggris, ia
bisa mati kutu. Di samping itu, apa yang mesti diceritakannya tentang
Bali. Dalam daftar buku wajib para mahasiswa tercantum buku yang sudah
kompletmenjelaskan Bali. Di antaranya buku Kaja-Kelod yang ditulisoleh Doktor I
Made Bandem dan Doktor Fritz de Boer.
Beberapa malam Wayan nyap-nyap. Ia mencobamembongkar-bongkar
slide yang dibawanya. Itu bisa mengisi waktu sekitar seperempat jam.
Kemudian mungkin ia akanmemutar video pertunjukan sendratari Ramayana,
kecakdance atau legong keraton.Selanjutnya ia dapat menunjukkan beberapa
gerakan tariBali. Sisanya menjawab pertanyaan kalau ada. Tapi begituberdiri di
podium, melihat ratusan pasang mata menatapnya,ia jadi kelengar. Tidak hanya
mata Amerika, juga ada mataHong Kong, Jepang, Thailand, Filipina, bahkan
terselip satudua mata orang Indonesia. Rencana Wayan buyar.
Semuanyaberantakan."Saya minta maaf karena bahasa Inggris saya, bahasa
hancurlebur. Tetapi barangkali karena itu saya terpilih berbicara didepan Anda
semua. Karena paling tidak saya bisa menjaditontonan konyol," kata Wayan
membuka kelas.
Para mahasiswa langsung tertawa berderai. Wayan terkejut.Ia tambah kecut hati, karena pengakuan jujurnyaditertawakan.
"Waduh saya jadi grogi, maaf mungkin sayaharus permisi ke belakang
dulu," kata Wayan sambil menolehkepada Claudia yang ikut duduk di deretan
mahasiswa,menembakkan kamera untuk dokumentasi. Para mahasiswatertawa lebih
keras.Wayan jadi bingung. Akhirnya ia nekat. "Tapi kalau saya kebelakang,
saya takut Anda ikut semua. Jadi lebih baik sayatahan saja, mudah-mudahan saja
tidak kebablasan di sini didepan Anda." Para mahasiswa semakin seru
ketawa. "Maaf saya tidak melucu." Beberapa mahasiswa bertepuk
tangangembira. "Lho sungguh. Sebagai orang Bali, saya tidak
pintarberbicara, apalagi dalam bahasa Inggris. Terus-terang,sebenarnya tak ada
yang perlu saya bicarakan kepada Anda.Anda sudah tahu semuanya.Coba apa yang
tidak Anda ketahui? Tidak ada. Justru yangtidak saya ketahui, banyak sekali.
Misalnya, lho kenapa Andasemua harus mendengarkan cerita orang yang tidak tahu seperti saya. Sebetulnya saya yang lebih pantasmendengarkan
cerita Anda. Orang Bali yang harus banyakbelajar dari orang Amerika."
"Lihat saja dari kepala sampai kekaki, saya sudah mencoba jadi orang
Amerika. Saya memakaicelana jins buatan Amerika. Sweater saya ini juga saya
beli diloakan di sini. Dan tadi saya baru makan Burger King.Apalagi saya
sekarang mencoba bicara dalam bahasa Inggris yang membuat saya sudah stres
selama satu minggu. Tapisaya kok jadi tambah Balikui rasanya. Lucu kan?"
Wayantertawa, menyangka apa yang dikatakannya lucu. Tapi tak ada mahasiswa
yang ikut tertawa. Wayan jadiberkeringat. "Ya, terus terang saya sudah
habis-habisanmencoba menjadi orang Amerika. Tetapi sudah dua bulan disini,
makan, berpakaian, berbicara dan hidup seperti orangNew York, tetap saja saya
tidak pernah bisa berhasil jadiorang Amerika. Ternyata sekali saya lahir
sebagai orang Bali, saya
sudah dikutuk jadi orang Bali. Apa pun yang saya cobalakukan, berbohong atau
menipu sekali pun, tetap sajamasih bernapas, berjalan, berpikir, bekerja,
tidur, pacaran,bahkan berak sekalipun, saya tetap berak orang Bali."
Paramahasiswa tertawa. Wayan kembali heran."Jadi bukan pakaian, bukan
makanan, bukan juga pikiran yang membuat saya menjadi orang Bali, tapi
takdir. Dansaya tidak bisa memilih takdir. Saya dipilihkan. Saya pernahmencoba mengusut apa saja takdir saya itu yangmenjadikan
saya berbeda dengan Anda semua orangAmerika, termasuk juga Anda yang berasal
dari belahandunia yang lain. Tapi saya tidak berhasil
menemukan jawabannya. Saya hanya punya contoh. Waktu sayamendarat pertama
kali di Amerika, bahkan datang pertamakali di New York sini, selama satu
minggu, bahkan sampaisatu bulan saya sulit membedakan kalian satu sama
lain.Nampaknya kalian orang Amerika sama semua. Padahalrambut, tinggi, potongan
badan, kelakuan, pakaian, namaserta usia dan watak kan lain-lain. Tapi
sebaliknya jugaterjadi pada turis Amerika yang datang ke Bali. Selama
satuminggu atau sebulan, semua orang Bali buat mereka sama.Wayan
semuanya. Jadi kalau begitu, pertanyannya adalah: apa yang samapada semua
orang Bali?" Beberapa orang mahasiswabergerak, siap menulis di atas
catatannya. "Maaf janganditulis, jangan percaya pada saya, siapa tahu saya
bohongatau menipu kalian," kata Wayan. Para mahasiswa tertawacekakan.Wayan
kembali berkeringat. "Orang bilang, orang Bali itubalikui," lanjut
Wayan, "artinya lugu, polos begitu. Dalambahasa Inggrisnya apa ya? Apa ya
Claudia?" Claudiamengucapkan satu kata. Tapi Wayan tak mendengarnya.Namun
para mahasiswa mencatat. "Banyak orang mencobabelajar kesenian Bali, tari
Bali, gamelan Bali dan sebagainya,dengan meniru pakaian, langkah, gerak dan
agemnya," kata
Wayan menyambung, "tetapi
meskipun secara matematikasudah persis, benar begitu, selalu saja hasilnya
kaku. Belajargamelan dan tari Jawa juga sama saja begitu. Tidak pernahpas. Kadang berlebih-lebihan, kadangkala kurang.Masalahnya,
saya kira karena mereka mencoba mendekatidari bentuknya. Ya tidak akan pernah
klop. Karena itu,mempelajari Bali,
mengajarkan Bali, sebaliknya jugamempelajari Amerika dan mengajarkan
Amerika, yang selamaini dimulai dari
bentuknya saja, harus dihentikan. Takdirnyalah yang harus dipegang.
Baru kalau itu dipahami,tanpa belajar pun Anda semua bisa menjadi penari Bali,
dantahu tentang Bali." Claudia memberi isyarat pada Wayandengan menunjuk
jam tangannya, tanda waktu sudah berlalu.Para mahasiswa berdiri siap-siap untuk
pergi.Wayan kontan berkeringat. "Lho, saya belum sempat lagimulai, kok
waktunya keburu habis? Ya sudah, maaf saja,sekian dulu," kata Wayan
menyesal, sambil memandangClaudia seperti orang kalah perang. Para mahasiswa
bertepuktangan.
Jakarta, 17-5-02
Karya
novel
Karya
cerpen
- Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan
cerpen Bom (1978)
- Es (1980)
- Gres (1982)
- Klop
- Bor
- Protes (1994)
- Darah (1995)
- Yel (1995)
- Blok (1994)
- Zig Zag (1996)
- Tidak (1999)